Nyala Gas Alam di Balik Nasi Jamblang Legendaris Cirebon

Table of Contents
Featured Image

Kehidupan di Dapur Nasi Jamblang Ibu Nur

Saat matahari belum terbit, Rindi Aningsih (58) sudah mempersiapkan bahan baku dan peralatan memasak di dapur. Tiga belas pekerja menyusul, membuat suasana dapur semakin ramai. Satu per satu kompor dinyalakan, tanda bahwa hari itu mulai berjalan.

Kesibukan terlihat di dua ruang masak. Mereka mengerjakan tugas masing-masing: menggoreng tahu, tempe, otak sapi, sambal goreng, blakutak cumi hitam, dan berbagai lauk yang akan disajikan bersama Nasi Jamblang khas Cirebon.

Di dalam dapur tersebut, suasana seolah melintasi waktu. Tak ada aroma asap kayu bakar seperti masa lalu ketika Nasi Jamblang kali pertama lahir tahun 1847. Tak ada bau minyak tanah, dan tak ada tabung gas elpiji seperti yang digunakan masyarakat menengah ke bawah. Hanya ada gas alam yang mengalir dari kokohnya pipa-pipa besi di bawah tanah.

Pipa-pipa itu tersambung ratusan kilometer dari hulu ke hilir, menjadi sumber energi utama yang mengobarkan semangat pengabdian. “Semuanya ada 12 kompor, masing-masing 2 tungku, jadi ada 24 api untuk masak. Itu pakai gas alam semuanya. Kompor terus nyala dari pagi sampai jam 16.00 WIB baru dimatikan,” kata Rindi saat ditemui.

Rindi bersama 13 pekerja di dapur adalah petugas bagian hulu yang memproduksi masakan sejak pukul 04.00 WIB. Mereka harus membawa hasil olahan ke meja hidangan sebelum pukul 07.00 WIB. Di sana, para pelayan di bagian hilir bertugas melayani wisatawan yang keluar masuk Warung Nasi Jamblang Ibu Nur.

Perjalanan Awal Nasi Jamblang Ibu Nur

Petugas kasir Cholis Nurfadilah menceritakan, tak ada kata instan dalam usaha yang dirintis pasangan suami istri Nur Aini (64) dan Subarjo (69). Keduanya, bersama adik dan kakak, memulai usaha tahun 2007 di trotoar Jalan Tentara Pelajar, Kota Cirebon, hanya beralas tikar dan beratap terpal.

Cita rasa dan olahan khas membuat usaha itu terus berkembang. Mereka kemudian mengontrak tempat hingga kini mampu membangun bangunan dua lantai yang menampung ratusan wisatawan.

Dalam satu hari, kata Cholis, Nasi Jamblang Ibu Nur menghabiskan sekitar 200 kilogram beras. Angka itu meningkat hingga lebih dari 300 kilogram saat libur panjang atau Lebaran.

“Kami sekeluarga sangat bersyukur, usaha rintisan Ibu Nur dan keluarga berkembang pesat. Dari buka warung jam 07.00 sampai jam 19.00 WIB, selalu ramai, terlebih saat liburan sampai banyak yang tidak kebagian. Sekarang total ada 36 orang yang ikut kerja di sini,” kata Cholis yang juga sanak keluarga pendiri kuliner ini.

Tak sekadar mencari untung, lanjut Cholis, Nasi Jamblang Ibu Nur dan pelaku usaha lainnya menjadi mata rantai dalam mempertahankan budaya dan tradisi. Apalagi sejak 2023, Nasi Jamblang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Gas Alam yang Menyalakan Dapur Nasi Jamblang Ibu Nur

Dari setiap sendok yang menggugah selera, ada gas alam yang selalu menyala. Cholis menunjukkan aliran gas alam serta meteran yang berada di tiga titik—dua atas nama pribadi keluarga dan satu atas nama Nasi Jamblang Ibu Nur.

Bagi Cholis, gas alam yang dijadikan bahan bakar utama berhasil menekan biaya pengeluaran lebih dari 50 persen. Aliran gas itu menghidupkan 24 titik api di atas 12 kompor yang menyala selama 12 jam.

Sebagai contoh, pada September 2025, Cholis hanya membayar tagihan gas alam ke PGN sebesar Rp 14.700.000 untuk pemakaian 2.450 meter kubik. Nominal ini jauh lebih hemat dibandingkan penggunaan 153 tabung gas elpiji nonsubsidi 12 kilogram yang bisa mencapai Rp 30.600.000.

Bisnis kuliner khas Cirebon yang dimulai dari emperan jalan itu kini kokoh melintasi 18 tahun perjalanan. Nasi Jamblang Ibu Nur di Jalan Cangkring, Kota Cirebon, menjadi salah satu destinasi kuliner utama wisatawan.

Rhomy Adhy Prastiyo, Area Head PGN Area Cirebon, menyampaikan bahwa Nasi Jamblang Ibu Nur menjadikan gas alam sebagai sumber energi utama sejak menjadi pelanggan pada 2007.

Hingga September 2025, PGN Cirebon memiliki 41.839 pelanggan, meliputi Rumah Tangga (RT), Pengguna Kecil (PK), dan Komersial Industri (KI). Dari total itu, PGN telah menyalurkan gas alam dengan volume 2,72 BBTUD atau setara 2.200.000 meter kubik.

“Nasi Jamblang Ibu Nur bertahun-tahun telah membuktikan penggunaan gas alam untuk sektor UMKM sangat berdampak positif. Gas alam lebih hemat dibanding gas nonsubsidi dengan konversi hitungan 1 kilogram tabung gas setara 1,27 meter kubik gas alam, sehingga keluar nilai penghematan yang fantastis,” terang Rhomy kepada Karir Digital saat meninjau jaringan PGN Nasi Jamblang Ibu Nur, Selasa (28/10/2025) siang.

Rhomy menambahkan, jumlah pelanggan PGN sejak awal hingga akhir 2025 tumbuh positif. Salah satu faktornya adalah keterbukaan informasi dan edukasi yang masif sehingga meningkatkan minat masyarakat beralih ke gas alam. PGN juga berkomitmen meningkatkan utilisasi gas bumi sebagai energi baik untuk masyarakat.

Perjuangan Hulu Migas Nyalakan Cita-cita Swasembada Energi

Di balik sedapnya Nasi Jamblang, ada ribuan petugas yang bekerja di area eksplorasi migas. Salah satunya para pekerja Stasiun Pengumpul (SP) Akasia Bagus di Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Karir Digital menyaksikan langsung bagaimana tim memproduksi migas saat berkunjung pada Selasa (20/10/2025) siang. Mereka mencari minyak dan gas dari perut bumi, lalu memisahkan kandungan minyak dan gas untuk diolah hingga menjadi sumber energi.

Proses berisiko tinggi ini jauh dari kata instan. Kajian, pencarian, dan produksi memerlukan waktu bertahun-tahun. Inovasi teknologi pun terus dikembangkan untuk mewujudkan kemandirian energi nasional.

Kuwat Prayitno, Manager Oil and Gas Transportation Field PEP Region 2 Zona 7, menyampaikan bahwa pada 30 September 2025, Zona 7 memproduksi 2.496 barel minyak per hari (BOPD) dan 217,57 juta kaki kubik gas per hari (MMSCFD).

“Perolehan produksi akhir September 2025 dengan jumlah minyak 2.496 BOPD serta gas 217,57 MMSCFD menjadi bukti bahwa Zona 7 sangat berperan untuk memenuhi kebutuhan industri strategis dan masyarakat luas. Melalui produk migas itu, Pertamina menggerakkan sendi-sendi upaya ketahanan energi, pangan, tekstil, serta seluruh hajat hidup lapisan masyarakat Indonesia,” kata Kuwat saat ditemui Karir Digital di Kantor PEP Zona 7 Region 2 Klayan, Kabupaten Cirebon, Selasa (28/10/2025) petang.

Pertamina, kata Kuwat, terus berupaya meningkatkan produksi migas melalui optimasi lapangan eksisting untuk mengimplementasikan amanat Asta Cita mewujudkan kemandirian dan swasembada energi menuju Indonesia Emas 2045.

Rindi Aningsih bersama 13 juru masak di dapur Nasi Jamblang Ibu Nur serta tim produksi di lapangan eksplorasi migas adalah pejuang di bagian hulu. Aktivitas mereka jarang tersorot kamera, namun hasil karya mereka nyata: menggerakkan ekonomi dan menyalakan energi.

Dari satu sendok nikmatnya Nasi Jamblang yang melegenda, selalu ada gas alam yang tak pernah berhenti mengalir.

Posting Komentar