Pujian Bisa Merusak? Begini Cara Memuji Anak agar Tumbuh Tangguh dan Berani Mencoba

Karir Digital - Pujian sering dianggap sebagai bahan bakar semangat anak. Tapi jika diberikan dengan cara yang salah, justru bisa menjadi racun. Anak bisa tumbuh dengan rasa takut gagal, enggan mencoba, dan hanya melakukan sesuatu demi mendapat validasi.
Jika kamu terbiasa bilang "Good job!" atau "Hebat banget kamu!", sekarang saatnya melihat ulang dampaknya. Simak ringkasan penjelasannya dari kanal YouTube Hazie and Motherhood:
Dampak Pujian Menurut Penelitian
Sebuah riset terkenal dari Dr. Carol Dweck, profesor psikologi di Stanford University, pernah mengungkapkan fakta mencengangkan. Dalam eksperimen itu, sekelompok anak diberi tes sederhana.
Setelahnya, sebagian dipuji karena kepintarannya, sementara yang lain dipuji karena usahanya.
Hasilnya mengejutkan. Anak-anak yang dipuji karena pintar cenderung memilih tantangan yang lebih mudah. Sebaliknya, anak-anak yang dipuji karena usaha justru lebih tertarik mencoba tes yang lebih sulit, meski berisiko gagal.
Mereka juga bertahan lebih lama dan tetap antusias meski dihadapkan pada tantangan besar.
Intinya, cara kita memuji bisa menentukan apakah anak tumbuh dengan growth mindset , percaya bahwa kemampuan bisa berkembang lewat usaha, atau fixed mindset , yang membuat mereka takut salah dan terjebak dalam zona nyaman.
Mengapa "Good Job" Tak Selalu Baik
Dalam pendekatan Montessori, pujian yang bersifat evaluatif seperti “pintar” atau "hebat" tidak dianjurkan. Alih-alih mendorong, pujian semacam itu justru bisa membuat anak tergantung pada penilaian eksternal.
Anak yang tadinya menikmati kegiatan menyusun puzzle, misalnya, bisa berubah jadi selalu mencari validasi dari orang dewasa.
Dr. Maria Montessori menyebut bahwa terlalu sering memuji justru memadamkan motivasi alami anak. Mereka jadi melakukan sesuatu bukan karena ingin, tapi karena berharap dipuji.
Hal ini juga diamini oleh psikolog lain seperti Dr. Wendy Grolnick. Ia menyebutkan bahwa pujian yang berlebihan bisa membuat anak merasa bahwa tujuannya adalah menyenangkan orang tua, bukan menikmati proses belajar itu sendiri.
Bahkan, riset terbaru menunjukkan bahwa pujian seperti “kamu luar biasa banget!” bisa membuat anak enggan bereksplorasi karena takut tak mampu memenuhi ekspektasi tersebut.
Pilih Kata-Kata yang Fokus pada Proses
Lantas, bagaimana seharusnya kita memuji anak? Yang terbaik adalah memberi pujian yang fokus pada proses dan usaha, bukan hasil akhir atau bakat bawaan.
Misalnya, saat anak selesai menggambar, hindari langsung berkata, "Wah, keren banget gambarnya!" Coba ganti dengan komentar yang lebih deskriptif seperti, "Kamu pilih warna biru untuk singanya, ya? Warnanya cerah banget."
Atau ketika anak berhasil memakai baju sendiri, daripada berkata "Pintar banget kamu," lebih baik katakan, "Tadi kamu sabar banget pas masang kancingnya. Butuh waktu, tapi kamu nggak menyerah."
Dengan begitu, anak tahu bahwa yang kita hargai adalah proses, usaha, dan ketekunannya, bukan semata-mata hasil atau kecepatan menyelesaikan sesuatu.
Tidak Semua Hal Perlu Dipuji
Kadang, kita terlalu cepat ingin merespons. Padahal, jika anak sedang asyik dan tidak sedang mencari perhatian, kita tak perlu memberi pujian apa pun. Biarkan mereka menikmati keberhasilan dan kebanggaan versi mereka sendiri.
Namun, saat anak memang datang dengan antusias, misalnya sambil berseru, "Mama, aku pup di potty!", respons yang baik bisa seperti, "Wah, kamu kelihatan bangga banget! Rasanya gimana?"
Di sini, kita tidak menghakimi atau mengevaluasi, tapi mengakui perasaannya dan membantunya memahami emosi positif yang muncul dari keberhasilan.
Hindari Pujian untuk Hal yang Tak Bisa Mereka Kontrol
Penting juga untuk tidak terlalu sering memuji hal-hal yang tak bisa anak kendalikan, seperti kecantikan, kecerdasan, atau bakat alami. Sebaiknya, arahkan pujian ke aspek yang bisa mereka upayakan: usaha, tanggung jawab, sikap, pilihan, dan kebaikan hati.
Misalnya, saat anak membantu membereskan mainan, katakan, "Terima kasih sudah bantu beresin. Sekarang ruangan jadi lebih nyaman, ya." Atau ketika anak berbagi mainan, tanya, "Bagaimana rasanya setelah kamu berbagi?"
Kata-kata seperti itu mengajak anak merefleksikan tindakannya dan memahami dampaknya secara lebih dalam—bukan hanya sekadar merasa "jadi anak baik."
Cara Bereaksi saat Anak Gagal
Pujian juga bukan satu-satunya hal penting. Reaksi kita saat anak gagal bahkan jauh lebih menentukan. Ketika anak frustrasi karena puzzle-nya tak kunjung selesai, hindari buru-buru menolong atau memberi solusi.
Sebaliknya, cobalah berkata, "Yuk kita lihat, bagian mana yang sudah pas? Sekarang apa lagi yang bisa kamu coba?" Pendekatan seperti ini membantu anak melihat kegagalan sebagai bagian dari proses belajar, bukan sesuatu yang memalukan.
Penutup: Tumbuh Tanpa Tergantung Validasi
Anak-anak tidak selalu butuh pujian. Yang mereka butuhkan adalah pengakuan, bahwa usaha mereka dilihat, dipahami, dan dihargai. Dengan begitu, mereka belajar menemukan kepuasan dari dalam dirinya sendiri, bukan dari komentar orang dewasa.
Dan bukankah itu yang kita harapkan? Anak-anak yang percaya diri, tahan banting, dan tidak takut mencoba hal-hal baru, karena mereka tahu, gagal pun tak apa, selama mereka terus berusaha.
Posting Komentar